Newsportdelta.com,Jakarta – Pengusaha menilai biaya logistik di Indonesia tinggi dan memberatkan. Bahkan pengusaha juga menyebut Indonesia sebagai negara dengan biaya logistik tertinggi di ASEAN.
Hal tersebut mengacu pada data World Bank Logistic Performance Index (LPI) Indonesia yang mencatatkan biaya logistik perdagangan Indonesia mencapai angka 23,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Posisinya jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia (13%), China (16%) dan Singapura (8%).
Merespons hal tersebut, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo Arif Suhartono mengatakan, nama Pelindo kerap terseret dalam setiap permasalahan biaya logistik. Padahal, kontribusi Pelindo dalam penetapan biaya logistik ini terbilang kecil, hanya sekitar 7% dari keseluruhan.
“Itu (Peran Pelindo) adalah 7% dari total. Lah saya bilang sama temen-temen, bagaimana cara Pelindo membantu kelancaran logistik? Seperti apa?,” kata Arif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI di Senayan, Jakarta Selatan,dikutip detikfinance. Rabu (3/7/2024).
Menurutnya, kontribusi Pelindo dalam menekan biaya logistik hanya dengan memperpendek port stay atau waktu sejak kedatangan hingga keberangkatan kapal. Berbeda dengan sisi cargo stay atau lamanya waktu barang di Pelabuhan, yang menurutnya bergantung pada pemilik barang tersebut.
“Pelindo itu cuma jagain, bongkarin, jagain kontainer. Selanjutnya yang punya bukain pintu. Jadi peran Pelindo sedikit sekali. Post clearance itu tergantung pemilik barang, nota dikeluarkan apa nggak, aduh kalo dikeluarkan saya harus siapin gudang,” jelasnya.
Di samping itu, Arif menilai ada ketidaksesuaian antara data LPI World Bank dengan kondisi nyata di lapangan. Hal ini lah yang melatarbelakangi riset secara terpisah oleh pemerintah RI melalui STC Belanda. Dari sana, Bappenas merilis biaya logistik di Indonesia pada 2023 mencapai 14,29% dari PDB, bukannya 23,5%.
Hal serupa juga terjadi pada laporan Container Port Performance Index (CPPI) World Bank. Dalam CPPI ini, ada 5 pelabuhan yang masuk, antara lain Tanjung Priok, Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Panjang, dan Pelabuhan Surabaya.
Dalam data tersebut, Pelabuhan Tanjung Priok tercatat memegang peringkat nomor 281 sedunia. Merasa kondisi di lapangan tidak sesuai dengan laporan tersebut, pihaknya pun mengundang World Bank untuk melihat langsung.
“Akhirnya mereka jawab dengan bagus, ‘Pak Arief i am not the expert of logistic’. Saya komplain, alhamdulilah baru 2 bulan lalu, Tanjung Priok dari 281 jadi nomor 23,” ujar dia.
“Persepsi global terhadap Indonesia seperti angka 23,5% pun yang mereka akuin, itu bukan angka World Bank. Sampai hari ini, kita masih terngiang-ngiang bahwa Indonesia kok jelek amat. Ternyata Indonesia nggak sejelek itu. Tapi kadang persepsi sudah, muncul jadi selalu seperti itu,” sambungnya.
Sebelumnya keluhan terkait biaya logistik mahal disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani. Menurutnya, dunia usaha di Indonesia kini masih penuh tantangan karena pelaku usaha terkendala faktor tingginya biaya yang diperlukan untuk menjalankan bisnis (high cost of doing business).
Perluas Penerapan Auto Gate di 29 Pelabuhan pada 2024
Pelindo menerapkan auto gate untuk mempercepat arus barang dan mencegah pungli. Penerapan di pelabuhan-pelabuhan milik PT Pelindo (Persero) akan selesai pada tahun 2024.
Sejak awal tahun 2024, Pelindo secara bertahap menerapkan gerbang otomatis di 29 pelabuhan. “Dengan otomatisasi gerbang, pembayaran yang sebelumnya dilakukan secara tunai berubah menjadi non tunai (cashless)” kata Direktur Pengelola Pelindo Putut Sri Muljanto.
Pada 2023 Pelindo telah mengimplementasikan gerbang otomatis di 13 pelabuhan di Indonesia, menyusul 5 pelabuhan yang sudah menerapkan sistem cashless sebelumnya, yaitu Banten, Tanjung Pandan, Sunda Kelapa, Banjarmasin dan Gresik, serta 12 Pelabuhan yang sebagian besar berada di wilayah Indonesia Timur.
Pelabuhan yang mengoperasikan gerbang otomatis pada 2023 diantaranya yaitu; Tanjung Pinang (Kepulauan Riau) di Regional 1 Pangkal Balam (Bangka-Belitung), Jambi, Panjang (Lampung), dan Pontianak (Kalimantan Barat) di Regional 2. Selain itu, ada pelabuhan Celukan Bawang dan Benoa di Bali, Lembar di Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT) di Regional 3.
Putut menjelaskan lebih lanjut perluasan pengoperasian gerbang otomatis. Mulai Juli 2024 hingga akhir tahun, katanya, Pelindo akan mengoperasikan gerbang otomatis di empat pelabuhan di Regional 1, tiga pelabuhan di Regional 2, empat belas pelabuhan di Regional 3 dan delapan pelabuhan di Regional 4.
Dengan demikian, sampai akhir 2024, ditargetkan 59 pelabuhan mengoperasikan gerbang otomatis. Empat pelabuhan yang akan mengoperasikan gerbang otomatis di Regional 1 yaitu Gunung Sitoli, Sibolga, Tanjung Balai Asahan, dan Lhokseumawe.
Tiga Pelabuhan di Regional 2 yaitu Cirebon, Bengkulu, dan Palembang. Lalu 14 Pelabuhan berada di wilayah Regional 3 mulai dari Pelabuhan Tanjung Intan di Cilacap, Jawa Tengah, Tanjung Tembaga di Probolinggo, Jawa Timur, Waingapu (Sumba), Maumere (Flores) di NTT, Bima, Ende-Ippi, Kalabahi, Labuan Bajo, Kotabaru, Batulicin, Sampit, Kalianget, Tegal, dan Tanjung Wangi.
Hingga akhir tahun, gerbang otomatis juga akan dioperasikan di delapan pelabuhan di Regional 4, yakni Manokwari, Jayapura, Biak, Fakfak, dan Merauke di Papua, Tolitoli dan Pantoloan di Sulawesi Tengah, serta Gorontalo.
Menurut Putut, pengoperasian gerbang otomatis dilakukan bertahap dengan mempertimbangkan trafik kendaraan di pelabuhan yang akan diterapkan sistem autogate.
“Kita juga melihat hasil evaluasi atas penerapan autogate di pelabuhan-pelabuhan terdahulu yang dapat dijadikan best practices,” kata Putut.
Selain bertujuan melakukan standardisasi operasi pelabuhan, kata Putut, gerbang otomatis juga untuk mewujudkan pelabuhan yang bersih dari pungutan liar (pungli).
Comment